Bukan Cuma Laut, Pangandaran Punya 'Emas Putih' dari Pedalaman
Pangandaran, Harian Pangandaran — Selama ini, Kabupaten Pangandaran lebih dikenal sebagai wilayah pesisir dengan potensi laut yang besar—mulai dari wisata bahari hingga hasil tangkapan nelayan. Namun, jauh dari gemuruh ombak dan hiruk-pikuk pantai, tersimpan potensi ekonomi lain yang mulai menggeliat: komoditas kayu albasia.
Kayu ringan berwarna pucat ini, yang oleh warga kerap disebut sebagai “kayu lapis” bila sudah dipotong tipis, menjadi salah satu komoditas non-laut yang menyumbang penghasilan bagi masyarakat pedalaman Pangandaran, terutama di wilayah seperti Kalipucang, Mangunjaya, dan Langkaplancar.
Tim Harian Pangandaran mewawancarai Ujang (38), seorang sopir truk pengangkut kayu albasia yang telah belasan tahun berkecimpung dalam distribusi hasil hutan rakyat ini. Ujang ditemui saat sedang istirahat dan mengecek kesiapan truk serta muatan di parkiran SPBU Ciokong, setelah muat dari pabrik di Cikangkung. Tak jarang, muatan juga berasal dari wilayah Cijulang.
“Kalau musim panen albasia, jalanan dari desa ke pabrik bisa penuh truk. Tiap hari saya bisa antar dua sampai tiga rit, tergantung kondisi jalan,” ujar Ujang dengan penuh keyakinan.
Menurut Ujang, kayu albasia yang diangkutnya berasal dari hutan rakyat milik warga. Setelah ditebang, kayu-kayu tersebut dibawa ke penggergajian untuk dipotong sesuai ukuran, lalu dijual ke pabrik-pabrik pengolahan kayu lapis (plywood) yang tersebar di Jawa Tengah, Kota Banjar (Jawa Barat), dan sesekali juga ke wilayah Jawa Timur.
“Biasanya yang dicari itu yang diameter 20 cm ke atas. Kayu yang bagus bisa langsung jadi bahan lapis, kalau yang kecil atau bengkok dipakai buat bahan peti kemasan,” jelasnya.
Saat ditanya mengenai nama perusahaan tujuan pengiriman, Ujang memilih untuk tidak menyebutkan secara rinci.
“Mohon maaf, saya enggak bisa sebut nama pabriknya. Itu rahasia klien yang pakai jasa truk saya,” ujarnya singkat.
Potensi kayu albasia ini tidak hanya dilihat dari segi ekonomis, tetapi juga dari sisi keberlanjutan. Tanaman ini dikenal cepat tumbuh, bisa dipanen dalam waktu 5 hingga 7 tahun, dan tidak memerlukan perawatan rumit. Hal ini menjadikannya pilihan populer bagi petani lokal yang mendambakan hasil cepat dan pasti.
Berdasarkan pengamatan langsung tim Harian Pangandaran yang mengambil sampel data di Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Pangandaran, serta Kecamatan Padaherang, masih ditemukan lahan ratusan hingga ribuan hektare yang ditanami pohon-pohon cepat panen seperti albasia dan balsa. Lahan-lahan ini sebagian besar dikelola secara mandiri oleh warga dengan sistem tanam tumpang sari, berpadu dengan tanaman palawija atau rumput pakan ternak.
Meski begitu, Ujang menyoroti tantangan yang masih ada di lapangan.
“Kalau musim hujan, jalan becek dan berlubang. Truk sering selip atau oleng. Belum lagi kalau muat dipabrik kayunya areanya belum di cor. Tapi ya itu sudah risiko,” katanya sambil tersenyum.
Sebagai sopir yang telah lama menghidupi keluarga dari albasia, Ujang berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan akses jalan produksi dan memberikan perlindungan harga dari tengkulak.
“Kalau bisa harga stabil dan jalan lancar, warga makin semangat nanam. Soalnya hasilnya lumayan, bisa buat sekolah anak-anak juga,” pungkasnya.
Potret Ujang dan truk bermuatan kayu albasia ini hanyalah sekelumit dari denyut nadi ekonomi di balik hutan rakyat Pangandaran. Saat laut menjadi identitas, jangan lupakan bahwa dari daratan pun, kabupaten ini menyimpan potensi ‘emas putih’ yang tak kalah menjanjikan.
—
Laporan: Tim, Harian Pangandaran